Sudah satu bulan lamanya, sejak semua kembali pada kesibukan masing-masing. Berisik yang hampir setiap hari memenuhi telinga mereka, kini sudah hening tanpa gema. Benar-benar sudah kembali ke setelan awal. Misel, menjadi satu-satunya yang selalu pulang ke kediaman Rajasa. Wisnu yang tidak rutin pulang, pun sama dengan Oxaf. Lalu Yafrand yang sedang di sibukkan dengan kegiatan KKNnya. Hanya Misel satu-satunya yang tersisa sembari menunggu Cessar pulang setiap dua hari sekali. Dengan di temani Bi Anum dan Mang Dadang, ia menjadi terbiasa untuk tinggal di sini. Bahkan apartemen yang sebelumnya sudah ia beli dengan Cessar, terpaksa tidak ia tempati mengingat kondisinya tengah berbadan dua saat ini, alasan lainnya adalah Cessar tiba-tiba berat hati jika rumah ini benar-benar kosong tanpa penghuni.
“Bi, Wisnu kalau ga pulang, biasanya kemana?” tanya Misel sambil membantu Bi Anum mengupas bawang.
“Pulang terus kok sekarang, Bu. Cuma ya suka larut pulangnya, nanti sebelum jam enam udah berangkat lagi,” jelas Bi Anum.
“Oooh, sepi ya Bi.”
“Dulu lebih sepi dari ini, Bu. Sekarang udah ada Ibu jadi ga sepi lagi.”
“Oh, iya? Tapi kan Mas Tian, Wisnu, Haksa, sama Yafrand ada kan Bi?” tanya Misel penasaran.
“Iya, ada. Tapi yang suka ngumpul atau ngobrol gitu ya cuma den Haksa sama den Yafrand aja. Den Tian, Den Wisnu itu jarang pulang. Pulang juga di kamar aja gitu, Bu.”
“Kalau Mas Cessar pulang rasanya malah sama aja kayak ga pulang ya, Bi.”
Bi Anum tersenyum mendengar ucapan Misel. Ia mengambil alih untuk mengupas bawang dari tangan Misel. “Sambil duduk, Bu.”
“Iya begitu, Bu. Mungkin karena den Cessar itu pulangnya lebih jarang, atau kadang pas lagi sering pulang, ya beliau cuma suka nanya-nanya ke adiknya gimana sekolah dan lain-lainnya,” jawab Bi Anum pelan, ia tidak ingin salah kalimat disini. Tidak ingin pula memberitahu Misel bagaimana Cessar sebelum menikah. Bi Anum benar-benar hati-hati dalam memilih kata.
“Kata Mas, dulu dia suka marah-marah sama adik-adiknya. Pernah berantem gede juga sampe katanya Yafrand tinggal di Apartemen Oxaf beberapa hari gitu, itu udah lama, Bi?” tanya Misel sambil menopang dagunya memandangi Bi Anum yang sedang meracik bumbu masakan untuk besok pagi.
Seketika hati Bi Anum menjadi lega. Lega karena Cessar benar-benar menceritakan bagaimana buruknya ia dulu.
“Iya, sempet gitu, Bu.”
Misel terdiam beberapa saat. Ia tidak tahu harus bertanya apalagi kepada Bi Anum. Sebenarnya banyak, hanya saja dia tahu bahwa Bi Anum tidak akan bercerita terang-terangan. Karena itu, Misel memilih untuk tidak bertanya, lebih baik begitu.
Waktu menunjukkan pukul 22.17, sudah waktunya Misel untuk beristirahat.
Ting. Bunyi pesan masuk ke ponsel Misel, itu adalah pesan dari suaminya.
“Bi, saya naik dulu, ya.”
“Bu, susunya belum di minum,” teriak Bi Anum karena Misel sudah berlari menaiki anak tangga.
“Oh, iya. Lupa. Makasih ya, Bi,” ucap Misel sambil meminum segelas susu yang sebelumnya sudah ia buat. “Bi, masaknya besok pagi, kan? Habis ini udahan ya, Bi. Udah waktunya istirahat.”
Misel kemudian pergi menuju kamarnya. Sudah dua malam dirinya tidur sendirian, menunggu Cessar pulang dari penerbangannya.
“Kayaknya Mas pengen cerita, deh,” batinnya saat membaca pesan terakhir dari Cessar.
Setelah sampai di kamar, Misel kemudian merebahkan dirinya di kasur dan memulai panggilan dengan suaminya.
“Aduh, kangennya..” suara dari seberang sana sesaat setelah Face time terhubung.
Misel tersipu saat mendengar Cessar tidak henti-hentinya mengucap kata rindu. Seolah mereka sudah tidak bertemu bertahun-tahun lamanya. Mereka saling bertukar kabar dan bercerita tentang kegiatan mereka hari ini. Bak pasangan baru yang sedang di mabuk asmara, keduanya tampak senang mendengarkan cerita satu sama lain.
“Sayang, tadi Om Haris tiba-tiba chat Mas.”
“Oh, iya? Kenapa?”
“Nanya kabar, nanya kabar Mas, kabar kamu, kabar adik-adik,” Cessar memberi jeda pada jawabannya. “Nanya, kapan Mas mau ngunjungin Lexaf.”
Misel hanya diam dan menyimak suaminya bercerita. Ia menempatkan diri sebagai orang asing yang hanya bisa mendengarkan dan memberikan saran jika itu di perlukan.
“Mas mau ngunjungin Lexaf?”
“Ngomong-ngomong, Mas baru sadar ternyata Mas baru sekali seumur hidup ngunjungin dia ke tempat kerjanya itu,” ucap Cessar sambil mengingat.
“Kalau gitu, besok pas Mas pulang, Mas langsung kesana aja, gimana?”
“Iya, ya. Tapi Mas sampe sana juga udah sorean gitu, kira-kira dia bisa ga di jenguk jam segitu?” tanya Cessar.
“Coba Mas tanya Lexaf, baikknya gimana,” saran dari Misel.
Cessar terdiam cukup lama. Ia membaca kembali pesan yang Om Haris kirimkan untuknya.
“Emangnya Mas ga ngasih perhatian ke Lexaf, ya? Sejarang itu kah Mas nanya kabar Lexaf? Apa karena Lexaf udah dewasa dan juga dia yang paling mandiri, jadi Mas malah kayak ga pernah nanya-nanya dia?” tanya Cessar.
Belum sempat Misel menjawab, Cessar memberitahu bahwa Lexaf sudah membalas pesannya. “NAH, UDAH DI BALES!” sontak Cessar sambil terduduk.
“Apa katanya?” tanya Misel.
“Bisa, dateng-dateng aja katanya. Tapi mending pagi atau siang aja kalau bisa, gitu.”
“Ya udah, abis Mas pulang, besok paginya aja ke Lexaf, gimana?”
“Bisa, sih. Gitu aja, ya?”
“Hu’um.”
Lalu obrolan panjang mereka beralih menjadi obrolan calon orang tua yang sedang belajar bagaimana cara merawat anak. Keduanya benar-benar ingin belajar bersama-sama sejak awal. Mencukupi pengetahuan masing-masing untuk mengusahakan agar menjadi orang tua yang baik.
Seperti calon orang tua pada umumnya, Cessar dan Misel sudah mempersiapkan banyak hal meskipun kehamilan Misel bisa di katakan belum begitu besar, baru memasuki minggu ke-11.
Hari ini, pukul 12.55 WIB Cessar akan melakukan penerbangan dari Bali menuju Jakarta. Ia akan tiba di Jakarta pukul 15.50, jika tidak ada keterlambatan. Sebelumnya ia sudah merencanakan, jika ia tiba tepat waktu ia akan segera mengunjungi adiknya, Lexaf, di Kesatrian.
“Sar, mampir ke Mestro dulu ya ntar. Ikut, kan?” tanya Dean, rekan kerja Cessar sekaligus sahabatnya sejak SMA.
“Gue ada janji, sih. Skip dulu, deh,” jawabnya.
Cessar tidak lupa jika jadinya ia akan mengunjuki Lexaf ke esokan harinya. Janji yang ia maksud adalah janji mengunjungi makam Papa dan Mamanya. Sudah lama sekali ia tidak mengunjungi kedua orang tuanya karena belakangan memang sangat sibuk.
Menuju penerbangan terakhir hari ini, Cessar berdoa terlebih dahulu sebelum ia lepas landas.
Sesuai harapannya, penerbangan kali ini berjalan dengan sangat lancar seperti pada biasanya. Tepat waktu pula. Ia segera mengabari Misel bahwa ia sudah mendarat dengan sempurna. “Sayang, Mas udah di Jakarta. Mas ada janji dulu jadi ga langsung pulang. Kamu pulang jam berapa? Biar nanti Mas yang jemput.” — pesan Cessar pada Misel.
Setelah keluar dari bandara, Cessar segera memesan Taxi menuju ke ‘Rumah’ kedua orang tuanya. Entah mengapa, sejak ia kembali bekerja ia menjadi jarang bertemu dengan adik-adiknya. Bahkan sekadar bertukar pesan pun sudah jarang. Entah memang karena sama-sama sibuk, atau hanya perasaan Cessar saja.
Perjalanan dari bandara menuju ‘Rumah’ orang tuanya memakan waktu sekitar setengah jam lebih. Mungkin karena jam bertepatan dengan pulangnya anak sekolah. Setibanya di pemakaman, Cessar segera menitipkan kopernya kepada supir Taxi dan menintanya untuk menunggu sebentar.
Tidak lupa, Cessar juga membawa bunga yang sempat ia beli di pertigaan jalan menuju ke makam.
“Halo, Pa. Halo, Ma.”
“Udah lama banget, ya? Abang lagi sibuk akhir-akhir ini, jadi Abang baru sempet kesini sekarang. Papa sama Mama ga marah, kan?” candanya sambil menyeka debu dari nisan Mamanya, kemudian beralih ke nisan Papanya di sebelahnya.
Cessar membuang napasnya dengan kasar. “Pa, apa lagi ada sesuatu yang terjadi, ya? Papa tau kan, kalau Om Haris sebelumnya ga pernah nanya tentang Lexaf ke Abang. Tapi kemarin tiba-tiba Om Haris nanya kenapa Abang ga pernah ngunjukin Lexaf,” ceritanya sambil menatap nisan Papanya dalam-dalam.
“Udah sejak berapa lama ini juga perasaan Abang ga enak. Tapi Abang ga tau kenapa. Semoga bukan tentang siapa-siapa ya, Pa.”
“Ma, Misel kok belum ngidam-ngidam ya, Ma? Abang agak bingung, deh. Tapi kata Dokter ini gapapa, ga ada yang salah juga. Tapi kan Abang penasaran Ma, kalau istri ngidam itu gimana,” keluhnya kepada sang Mama.
“Hidup berat tanpa kalian. Selain Abang ga di bekali cara jadi Abang yang baik buat adik-adik, Papa sama Mama juga ga ngebekalin Abang giman acaranya jadi orang tua. Abang harus belajar dari siapa, Pa? Ma?” tiba-tiba ia sedih dengan kenyataan yang satu ini.
Cessar menyadari bahwa ia sebenarnya sangat butuh figur Papa dan Mamanya saat ini. Saat-saat seperti ini. Mungkin ia bisa saja belajar dari Ibunya Misel bagaimana cara menjadi orang tua yang baik atau setidaknya ia mendapat gambaran bagaimana seharusnya yang ia lakukan jika ia menjadi orang tua. Tapi Ibu Misel sedang tidak berada di kota yang sama dengan mereka. Karena itu, Cessar selalu menemani Misel untuk mempelajari ini dan itu. Kadang kala juga mereka di bimbing oleh Bi Anum yang sudah Cessar anggap seperti orang tua sendiri.
“Pa, Abang mau jenguk anak kesayangan Papa besok. Papa pasti kangen sama dia. Iya, kan?” tanya Cessar dengan sedikit tertawa.
“Ternyata Lexaf tuh punya pacar tau, Pa. Udah berapa lama, ya. Kayaknya udah empat, eh — apa lima tahunan, ya? Abang lupa, deh.”
Cessar masih asik bercerita tentang Lexaf kepada Papanya. Hal yang selalu Papanya suka sejak dulu, mendengar bagaimana cerita tentang anak-anaknya tumbuh. Khususnya Lexaf dan Oxaf.
Dulu sekali, mungkin saat Lexaf dan Oxaf baru memasuki bangku SMA. Papa pernah mendudukkan keduanya dan mereka berbicara dengan serius tentang rencana-rencana kedepannya. Cessar masih tidak bisa lupa bagaimana ia diam-diam mendengarkan percakapan mereka bertiga di ruang tamu waktu itu. Waktu itu, Papanya melempar pertanyaan, “Bagaimana hidup disini? Senang tidak?”. Lalu Lexaf menjawab dengan penuh kekhawatiran, begitu jelas terdengar dari suaranya. Cessa sudah lupa bagaimana Lexaf menjawab pertanyaan itu, namun intinya Lexaf menjawab, — aneh rasanya ketika menjalani hidup yang sebenarnya bukan miliknya.
Ketika Papanya sudah berpulang, Cessar pernah kembali menanyakan tentang ambisi Lexaf dan Oxaf.
“Gue mau wujudin mimpi Mama yang belum sempet Mama wujudin, Bang.” — jawaban Oxaf kala itu. Cita-cita akan mengabdikan diri untuk orang-orang kecil yang butuh bantuannya akan selalu ia teruskan sampai akhir. Tidak ada ujung dari mimpi Mamanya yang hanya satu ini. Oxaf menjadi satu-satunya yang terpilih dan dipilih oleh Tuhan sebagai anak yang mewarisi ambisi Mamanya.
“Gue mau jadi anak yang sepadan di keluarga ini. Meskipun sekecil bentuk kedipan mata yang ga sama kayak abang-abang dan adik-adik, gue mau belajar jadi sepadan. Walaupun kenyataan gue adalah anak yang di buang sama orang tuanya ga akan bisa gue ilangin.” — jawaban Lexaf kala itu yang mendapat dekap hangat dari Cessar. Kala itu ia tahu kenapa Papanya yakin membawa Lexaf masuk kedalam keluarganya.
“Lexaf selalu khawatir kalau dia ga punya sifat dasar yang sama kayak keluarga kita. Kayak Abang, kayak Adik, kayak Papa, Kayak Mama. Dia takut kalau ternyata dia adalah orang yang sangat berbeda dengan kita, karena dia tau di darah dia ga mengalir darahnya Papa dan Mamamu,” terang Papanya pada Cessar tentang Lexaf.
Untuk waktu yang lama, Cessar tidak pernah lupa dengan suara dari cerita yang satu ini. Meskipun belum sempurna, ia akan selalu mendukung Lexaf dan Oxaf mencapai ambisi mereka. Apapun bentuknya, Lexaf dan Oxaf akan selalu mendapat cinta dan kasih yang penuh dari Rajasa. Bagaimana pun, Lexaf dan Oxaf sudah menjadi bagian dari pondasi rumah. Tidak ada mereka, keluarga ini tidak akan mungkin utuh. Tuhan begitu baik dalam menyelamatkan keluarga mereka.