“Engga gitu cara ngeredain orang yang lagi penuh kekhawatiran, Xaf,” nasehat Misel saat Oxaf menemuinya di ruangan kerjanya.
“Tapi maksud gue bilang gitu supaya dia berhenti dul — ,” ucapan Oxaf langsung di sela oleh Misel.
“Xaf, akan ada kok. Akan ada masanya dia berhenti khawatir kan lo akan bertanya-tanya kenapa dia berhenti. Alasan apa yang pada akhirnya bikin dia berhenti,” ucap Misel menohok.
“Ga selamanya semua bentuk khawatir itu menyesakkan, karena kita ga ngerasain, jadinya kita bisa sepelein itu. Nganggep itu ga penting dan bisa di pending kapan aja.”
Oxaf tidak lagi menjawab. Tidak lagi membela dirinya dengan segala bentuk pembelaan. Ia cukup tertampar dengan kalimat Misel.
“Setidaknya, kalau suatu hal ga terjadi di hidup kita, kita tetep bisa belajar jadi kejadian orang lain. Belajar dari segala sudut pandang itu penting, Xaf,” tambah Misel yang di angguki pelan oleh Oxaf.
“Kak, thanks, ya. Means a lot.”
Misel mengangguk, ia berdiri dari kursi kerjanya dan menghampiri Oxaf yang tengah duduk di sofa ruangannya. Berjalan mendekat kemudian menepuk bahu Oxaf pelan. Oxaf dan adik-adik yang lain sudah ia anggap sebagai adik sendiri oleh Misel, karena itu ia memberikan mereka nasehat agar mereka tidak melakukan kesalahan secara berulang.
Masih di peluk dengan nyaman oleh Berlin, pagi ini Tiandra harus segera berkemas untuk segera pulang. Ia harus mempercepat kepulangannya ke tanah air. Belakangan memang begitu banyak kejadian yang tidak berjalan sesuai dengan apa yang ia rencanakan, tidak berjalan sesuai apa yang ia inginkan.
Dengan di bantu oleh Haksa, Tian mengemasi barangnya.
“Gue aja, Bang. Udah di ajarin sama Kak Misel kemarin pas gue lagi beberes,” tawarnya sambil menarik koper Tian.
“Oh, oke.”
“Tiket udah?” tanya Haksa sambil melipat baju Tian.
“Ini baru mau chat sekretaris Abang,” jawab Tian sambil mencoba menghubungi sekretarisnya.
“Kenapa, sih, Bang?” tanya Haksa akhirnya. Sudah sekitar tiga puluh menit ia melihat Tiandra gusar.
Tian tidak langsung menjawab pertanyaan dari Adiknya. Ia menatap Haksa untuk beberapa detik. “Orang tuanya Bang Lexaf sama Bang Oxaf nemuin Om Haris,” jelas Tian singkat dengan suara tegas.
Haksa tercengang saat Tian mengatakan demikian. Tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa orang tua dari Lexaf dan Oxaf akan datang dan bertemu dengan Om mereka. Dalam diam, Haksa berusaha mencerna kemungkinan apa yang sedang terjadi, kemungkinan apa pula yang akan terjadi.
Haksa paham, ini bukan waktu yang tepat untuk dia melemparkan banyak pertanyaan kepada Tian. Kalaupun pertanyaan itu bisa ia tanyakan, pastilah Tian tidak punya jawabannya. Haksa mencoba memahami situasi yang menurutnya sangat rumit. Di sisi yang lain, besar pula rasa khawatirnya terhadap dua abangnya yang sedang jauh darinya.
“Gimana? Udah?” tanya Haksa saat melihat Tian masuk ke kamar setelah melakukan panggilan suara dengan sekretarisnya.
“Udah.”
Keduanya terdiam. Haksa masih menyusun barang-barang Tian, sedangkan Tian sibuk memperhatikan setiap pergerakan Haksa.
“Sa, mau ikut pulang juga ga?” tanya Tian.
Haksa menggeleng. “Gue beresin yang disini dulu, mau cepet kelarin biar bisa pulang dan ga kesini lagi. Gapapa, kan?”
“Gapapa. Sorry ya, Abang banyak ngerepotin selama disini.”
“Ist schon gut, Sir. Sie haben mir eine Menge Geld gegeben (Gapapa, Bos. Soalnya lo udah ngasih gue duit banyak banget),” canda Haksa sambil tertawa. Ia menghibur Tian dengan sedikit kemampuannya.
Tian kemudian beranjak dari duduknya di ujung sofa. Ia menepuk bahu Haksa dengan lembut. “Danke, dass du ein guter Junge bist,” ucap Tian.
Haksa hanya tertawa. Tawa yang baru kali ini ia tampilkan didepan Tian. Tawa yang terdengar lebih bebas, tawa yang terdengar lebih ikhlas. Tawa karena akhirnya ia sudah dipercaya oleh salah satu dari mereka. Dirinya, adalah bentuk kedewasaan yang dipeluk dengan erat oleh saudara-saudaranya.
Di tempat yang lain, Cessar segera pulang ke rumahnya setelah ia selesai menjenguk Adiknya, Lexaf. Pembicaraan mereka hari ini cukup memenuhi isi kepalanya. Bahkan, Cessar segera memeriksa jadwal penerbangannya dalam waktu dekat agar ia bisa bersama-sama bertemu dengan Om Haris untuk membahas persoalan yang satu ini.
Sudah lama rasanya kepalanya tidak berat seperti saat ini. Terakhir, kepalanya terasa berat dan penuh saat ia akan meminang Misel. Begitu banyak ketakutan dan keraguan yang tiba-tiba masuk dalam kepalanya. Untung saja, ia dan Misel berjodoh. Pikirnya, itu adalah anugerah Tuhan yang harus selalu ia syukuri sepanjang hidupnya. Kehadiran Misel bukan semata hanya untuknya, tapi pada kenyataannya ia juga mengisi beberapa tempat yang kosong untuk Adik-adiknya. Itulah kenapa ia menyebut Misel sebagai anugerah besarnya.
Cessar menyandarkan kepalanya di bahu ranjang. Sebelumnya, ia sudah mengambil buku album yang sengaja ia susun dengan rapi di rak buku di kamarnya. Ia membuka secara perlahan. Dilihatnya kembali potret lama dirinya dan Adik-adiknya dengan kedua orang tuanya. Sampai tiba pada deretan potret yang mulai ada keberadaan Lexaf dan Oxaf, membuat Cessar semakin menyelami memori lamanya. Ia pun terhanyut, terlelap di buatnya. Dengan mata yang terpejam, alam bawah sadar yang sudah membawanya menari, Cessar tetap mendekap hangat buku album yang berisi kenangan yang ia harap siapapun di dalamnya tidak akan hilang, — sampai kapanpun.