Mengetuk rumah tanpa pintu

mey
7 min readOct 1, 2023

--

Janji untuk pertemuan itu sudah di buat sejak satu minggu yang lalu. Sejak itu pula, hari-hari yang semula biasa saja, berubah menjadi gelisah seolah tanda akan petaka. Tidak, ini mungkin hanya firasat mereka saja. Dengan suasana hati yang tidak sepenuhnya baik, satu hari yang sudah di tentukan – mereka semua menemui Haris siang ini.

Saat usianya mulai menginjak usia dua puluh, Lexaf pernah sekali berpikiran bahwa suatu hari nanti mungkin akan ada hari dimana ia akan bertemu dengan keluarga kandungnya. Entah siapapun itu, dalam hatinya ada sebuah keyakinan yang begitu besar – bahwa aku akan di temukan, atau aku yang menemukan. Nyatanya, beberapa tahun kemudian pikirannya itu terwujud menjadi nyata. Meskipun sudah pernah menduga sebelumnya, Lexaf tetap tidak siap dengan dugaannya yang menjadi kenyataan.

Tidak ada raut bahagia untuk kenyataan yang satu itu. Kenyataan bahwa ia di titipkan di tempat yang jauh dari siapapun. Tidak, ia tidak di titipkan, melainkan ia di buang. Itu adalah kata yang paling tepat untuk dirinya dan Oxaf. Kenyataan yang satu ini adalah kenyataan yang menang harus benar-benar ia telan. Lexaf sudah bisa menelan itu, tapi untuk Oxaf, dia masih belum.

Untuk waktu yang sangat lama, Papa Andi beserta keluarga ini sudah memeluk segala rasa tidak bahagia yang sebelumnya berakar di diri Oxaf. Mungkin kalau bukan karena Lexaf, malam itu ia sudah di bawa pergi jauh entah kemana dengan orang asing yang tiba-tiba menyelinap ke dalam Panti. Mungkin kalau bukan karena Lexaf, hari ini ia tidak akan jadi seseorang yang berguna untuk orang lain. Mungkin kalau bukan karena Lexaf, ia tidak akan bertemu dengan bentuk bahagia seperti yang ia miliki. Sama seperti Lexaf, Oxaf hanya punya Lexaf. Mereka hanya memiliki satu sama lain dan tidak akan membiarkan siapapun memisahkan keduanya.

Lexaf menjadi satu-satunya alasan kenapa Oxaf masih mau bertahan sampai hari ini dan seterusnya. Masih lekat dalam ingatannya, bagaimana malam itu Lexaf berteriak meminta tolong kepada orang-orang untuk membantu adik satu-satunya yang yang sedang di bawa kedalam satu mobil yang terparkir di halaman panti asuhan tempat mereka tinggal. Kala itu, sedang ada acara amal dari rumah sakit tempat Mama Lia bekerja yang kebetulan di lakukan di panti asuhan tersebut, pengawasan hari itu juga menjadi terbagi dan tidak ketat seperti biasanya. Saat itulah kejadian tidak baik itu menimpa Oxaf dan satu anak panti lainnya. Sepertinya anak-anak di panti sudah lama menjadi target penculikan, di tambah kala itu memang sedang marak kasus penculikan anak di bawah umur.

Tangisan, teriakan, dan pelukan hangat dari Lexaf di malam itu adalah bagian dari Lexaf yang tidak pernah Oxaf lupakan seumur hidupnya. Tangisan dan teriakan itu lah yang akhirnya membuat Mama Lia mengadopsi keduanya. Membawanya pada kehidupan yang lebih hangat, memperkenalkan dunia yang baru pada keduanya. Sebab itulah, Lexaf dan Oxaf selalu menyebut Mama Lia adalah pintu kehidupan mereka.

Matahari sudah mulai naik sampai di atas kepala. Hanya ada Cessar, Tian, Lexaf, dan Oxaf kali ini. Wisnu berhalangan hadir karena pekerjaan yang tidak bisa ia tinggalkan, sedangkan Yafrand sedang ada penilaian untuk tugas KKN yang sudah sebulan lebih ini ia ikuti. Tidak ada hati yang tenang saat ini. Bahkan di tempat yang berbeda, Wisnu, Haksa, dan Yafrand tetap mengudarakan kemungkinan terbaik untuk Lexaf dan Oxaf.

Butuh waktu satu jam untuk menempuh perjalanan menuju rumah om mereka, Haris. Setibanya mereka di rumah Haris, mereka di sambut dengan hangat dan di persilahkan masuk oleh Haris beserta istrinya.

“Jadi, gimana?” tanya Haris langsung saat melihat raut wajah keempat ponakannya yang sudah terlihat tegang.

“Mungkin bisa di ceritain dulu, Om, tentang orang yang datengin Om dan nanya soal Adik-adik,” kata Tian memulai.

“Mau Om yang cerita, atau Abang yang cerita?” tanya Haris sambil menatap Lexaf.

“Om aja,” jawab Lexaf mempersilahkan.

Setelah di persilahkan, Haris kemudian menceritakan bagaimana seorang Ibu datang kepada Haris dengan membawa foto bayi dan juga dokumen identitas autentik dengan nama asli keduanya. Haris menceritakan bahwa wanita itu datang sejak beberapa bulan yang lalu dan kerap sekali meghubungi Haris untuk menanyakan kabar Lexaf dan Oxaf. Jelas, Haris mempercayai seluruh cerita wanita itu karena semua di sertai dengan bukti dan dokumen yang lengkap, tidak terlihat setitik kebohongan disana.

“Om, kenapa tiba-tiba dia dateng?” tanya Oxaf saat Haris menjeda ceritanya.

“Nak, yang namanya orang tua, akan selalu ada perasaan rindu dan ingin bertemu dengan anak mereka. Terlebih, dia sudah lama kehilangan kalian,” jelasnya.

Lexaf paham betul dengan semua pertanyaan yang ada di kepala Oxaf.

Taukah kamu, betapa sulitnya tiba-tiba di paksa untuk menggali sesuatu lebih dalam yang bahkan kita sendiri tidak pernah mau tahu apapun tentangnya?

Itulah yang saat ini ada di benak Oxaf.

“Dia berhasil nemuin Lexaf. Minta maaf, ngeliat anaknya hidup dan tumbuh seperti apa. Meskipun dalam hati Abang rasanya ingin sekali marah, menolak, berteriak, tapi dia tetap bersikukuh untuk menyampaikan perasaannya sebagai seorang Ibu kepada anaknya,” lanjut Haris.

“Abang, Adik, Om tahu sekali kalau kenyataan seperti ini tidak bisa kita terima dengan mentah. Tidak bisa kita terima begitu saja, apalagi ini sudah cukup lama. Tapi, menemui kalian juga bukan suatu kesalahan untuk mereka,” tuntasnya.

“Dia cuma nemuin aja, kan, Om?” tanya Cessar akhirnya.

Haris menggeleng. Yang artinya, Ibu itu datang bukan hanya dengan satu tujuan. Inilah yang sebenarnya tidak bisa mereka terima.

Oxaf semakin menunduk, matanya sudah semakin perih. Rasa amarahnya pun sudah mulai memuncak.

“Minggu lalu, sebelum kalian menghubungi Om untuk datang dan membahas tentang ini, Om dapat kabar kalau Ibu itu sedang dalam keadaan yang tidak baik — ”

“Baik atau enggak, itu bukan urusan kita, Om,” elak Oxaf.

Tidak bisa di pungkiri, rasa benci dan marah sudah memenuhi diri Oxaf. Bahkan Lexaf tidak menahan sedikitpun, tidak melarang Oxaf untuk marah ataupun kecewa, karena inilah perasaan yang paling valid bagi Oxaf. Inilah yang seharusnya Oxaf utarakan sejak lama.

“Terakhir ketemu sama Abang, emang keadaan dia ga sebaik waktu pertama kali dia datang,” ucap Lexaf.

Tian dan Cessar bergulat dengan perasaan masing-masing. Di satu sisi, mereka tidak ingin kehidupan adik-adiknya di usik oleh orang lain. Lalu di sisi yang lain, ini adalah kehidupan Lexaf dan Oxaf yang tidak boleh mereka atur-atur dan ikut campuri di dalamnya.

Lexaf tampak lebih bisa berdamai dengan kenyataan ini, tapi sekali lagi — Oxaf masih belum.

“Oxaf, Nak, coba di pikirkan lagi, di buka kembali sedikit saja untuk bertemu dengan beliau. Hanya untuk bertemu.”

“Om, ini bukan perihal hanya bertemu atau hanya hanya yang lainnya,” jawab Oxaf dengan mata yang sudah merah.

Di rangkul lengan Oxaf oleh Lexaf, di tenangkan dengan penuh kasih oleh Lexaf. “Kok lo bisa, sih? Semudah itu maafin dia,” tanya Oxaf pada Lexaf.

“Mau ga mau, bisa ga bisa, harus mau, harus bisa,” jawab Lexaf juga dengan mata yang sendu.

“Coba buat berpikir lebih sederhana. Kalau kita mikir terlalu keras, kita ga akan nemuin jawabannya. Kita ga akan kebuka hatinya. Nemuin mereka bukan berarti kita maafin kesalahan mereka,” jawab Lexaf seraya membujuk.

Dengan ini, semua yang melihat Oxaf menjadi tahu alasan di balik bekunya seorang Oxaf Adnan kepada siapapun kecuali keluarganya. Ada tembok kepercayaan yang ia bangun dengan begitu tinggi tanpa ada satupun orang asing yang bisa menerobos masuk kedalamnya.

Cessar kemudian menanyakan tentang berkas-berkas asli yang di titipkan Papanya kepada Omnya sebelum Papanya berpulang.

“Abang Cessar, ini hanya boleh di pergunakan untuk hal yang sangat sangat penting dan sangat sangat membutuhkan dokumen ini, mengerti, kan?” tanya Haris dengan tegas sebelum ia menyerahkan dokumennya kepada Cessar.

“Iya, Om. Cessar paham.”

“Lexaf sama Oxaf, kalau seandainya butuh kontak untuk menghubungi beliau, Om akan dengan senang hati memberikan kepada kalian, Nak.”

“Om, kenapa Om bersedia ngurus soal ini?” tanya Tian penasaran.

“Papa kalian sudah menitipkan segala sesuatu tentang kalian ke Om. Itu jadi tanggung jawab Om. Termasuk soal yang satu ini.”

Pembicaraan kemudian berlanjut dengan membahas beberapa hal penting terkait pekerjaan dan perusahaan yang sedang di kelola oleh Tian. Sembari memberi ruang kepada Lexaf dan Oxaf untuk berpikir lebih jernih, khususnya Oxaf.

Bagi Oxaf, situasi yang sedang di hadapkan dengannya saat ini terasa seperti dirinya baru saja melakukan sebuah perjalanan yang amat panjang, kemudian ia di paksa untuk berhenti pada suatu tempat dan disana ia bertemu dengan orang yang membuatnya melakukan perjalanan sepanjang ini tanpa pernah di beri jeda. Seolah-olah perjalanan yang ia lakukan tidak akan pernah ada ujungnya, tidak pernah ada tujuannya, lalu tidak ada yang berdiri di titik pemberhentian dan menunggu ia tiba dengan selamat.

Bahkan, saat ini Oxaf terlalu merasa bodoh karena tiba-tiba saja ingin melihat sosok yang membuangnya. Berharap orang itu tersenyum padanya namun hanya untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Oxaf hanya ingin satu pertemuan saja, itu sudah lebih dari cukup. Ia tidak ingin lebih lagi.

“Gapapa. Ga harus sekarang,” ucap Lexaf pelan.

“Padahal gue kemaren udah yakin gue bisa, gue mau, tapi ternyata engga,” batin Oxaf.

Untuk Lexaf, ia sudah tidak punya lagi energi lebih untuk menyalahkan orang yang memilih meninggalkannya dan adiknya berdua. Tidak punya lagi energi lebih untuk menyuarakan rasa marahnya karena ia tahu itu hanya percuma. Tidak punya lagi energi lebih untuk bersedih. Karena itu, sejak dulu yang ia lakukan hanyalah menerima, tepatnya mencoba menerima apapun bentuk kenyataan yang menghampiri dirinya.

Cessar menatap kedua adiknya dengan tatapan yang sulit untuk di artikan. Ia tahu, perasaan yang ada dalam hati adiknya tidak bisa di jelaskan dalam kata per kata. Lagi pula, ini ibarat seseorang yang tiba-tiba mengetuk rumah tanpa pintu. Seseorang itu juga akan bingung, harus mengetuk dari sisi yang mana, dari sudut yang mana, harus permisi kepada siapa. Hanya saja, pemilik rumah sengaja memasang rumah tanpa pintu karena ia mungkin saja sudah tahu bahwa suatu hari akan ada orang asing yang datang berkunjung tanpa punya keberanian untuk mengetuk.

“Harus tetap dipanggil ‘Ibu’, ya?”

--

--

mey
mey

Written by mey

restez, je suis heureux que vous restiezʚɞ˚ ༘♡ ⋆。˚

No responses yet