Masih butuh, sampai nanti-nanti

meyourpie
7 min readMay 3, 2023

--

Setelah menyelesaikan makan malam yang di hidangkan oleh Tian dan Wisnu, kini Rajasa bersaudara kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Berbeda dengan Oxaf, saat ia sedang menyantap makan malamnya, tiba-tiba ia mendapatkan panggilan darurat dari rumah sakit dan bergegas kesana.

Hari ini adalah hari yang panjang untuk Oxaf, namun tampaknya semesta belum memberikannya izin untuk mengistirahatkan tubuhnya. Bahkan, dunianya tahu, yang lelah dari Oxaf bukanlah tubuhnya, melainkan pikirannya.

Lexaf segera menutup pintu saat ia masuk ke kamarnya, menutup tirai dan jendela, kemudian berbaring sambil merenungi apa saja yang sudah terjadi hari ini. Banyak sekali hal yang ia lalui hari ini. Mulai dari bertemu dengan Lana, bertengkar dengan Oxaf, dan berakhir dengan ia bertanya-tanya tentang sikap aneh Yafrand.

“Kenapa gue ngomong kayak tadi seolah-olah gue ga bakalan ketemu sama mereka lagi, sih,” sesalnya.

“Semoga masalah Bang Tian sama Lana cepet ketemu titik terangnya,” imbuhnya lagi.

TOK TOK TOK

Haksa mengetuk pintu, izin dulu kepada Lexaf untuk masuk ke kamar Abangnya itu. “Bang, boleh masuk?”

“Masuk aja, Sa.”

Ini kali pertamanya masuk ke dalam kamar Lexaf dalam beberapa tahun terakhir. Kamar yang jarang di huni, tapi selalu rapi dan bersih. Tidak banyak yang bisa di lihat di kamar Lexaf, sangat jauh berbeda dengan kamar Yafrand, Wisnu, Tiandra, Cessar, juga kamarnya. Haksa sedikit bingung, bagaimana bisa Lexaf membiarkan kamarnya hampa seperti ini. Sekali lagi, meskipun kosong, kamar Lexaf selalu menjadi kamar yang paling rapi dan kamar yang paling bersih di antara semua kamar.

“Tumben, kenapa?” tanya Lexaf.

Haksa duduk di kursi yang ada di kamar Lexaf, menghadap ke arah balkon.

“Gapapa, gabut aja. Di kamar lagi ga ada kerjaan juga.”

“Emang Yafrand sama Abang-abang yang lain kemana?”

“Ada di bawah, deket kolam. Si Yafrand lagi bahas soal kuliahnya.”

Haksa masih mengamati kamar Lexaf dengan teliti, padahal isi kepalanya sudah menumpuk dan minta di keluarkan. Ia memperhatikan satu per satu barang abangnya yang tersusun rapi itu.

“Bang, gue mau balik Jerman,” ucap Haksa tiba-tiba.

“Bareng sama Bang Ian?” tanya Lexaf.

Haksa mengangguk, pun juga Lexaf ikut terdiam karena ia sudah diberitahu soal ini oleh Tian beberapa hari yang lalu. Selain itu, Lexaf juga tidak tahu ingin membicarakan apa dengan Haksa.

“Bang, lo kalo mau tidur, bilang ya. Ntar gue keluar,” ucap Haksa yang di angguki oleh Lexaf.

Pandangan Haksa tertuju pada susunan buku yang rapi yang di tata sesuai dengan ukuran serta warnanya. Lexaf yang menyadari pandangan Haksa, ia menawarkan Haksa untuk mengambil buku yang ia ingin lihat.

“Ambil aja, kalo pengen baca.”

“Boleh?” tanya Haksa ragu.

“Ya boleh, ambil aja.”

Haksa beranjak dari duduknya dan kini ia berdiri di rak buku besar yang didalamnya berisi penuh buku-buku yang pernah Lexaf baca dari jaman sekolah sampai sekarang.

Tangannya meraih satu buku yang berjudul “Love, Life & Work” by Elbert Hubbard. Ia membaca sipnosis dari buku itu, kemudian ia membuka acak halamannya, sekadar ingin tahu apa isi dari buku yang ia pegang itu. Tangan Haksa berhenti pada satu halaman, “Keep your mind on the great and splendid thing you would like to do; and then, as the days go gliding by, you will find yourself unconsciously seizing the opportunities that are required for the fulfillment of your desire.”

Haksa terdiam setelah ia membaca kalimat itu. Tidak pernah terlintas di pikirannya bahwa ia akan menemukan buku sejenis ini di rak milik Lexaf.

“Bawa aja bukunya, buat di baca di pesawat besok,” ucap Lexaf berjalan mendekati Haksa.

Haksa menutup halaman pada buku. “Boleh?”

Lexaf mengangguk, mengiyakan pertanyaan sang Adik.

Lexaf kemudian membuka laci di sebelah tempat tidurnya. Ia mengeluarkan sebungkus rokok dan korek. Lalu menawarkannya pada Haksa. “Rokok?” tanya Lexaf menawarkan pada Haksa.

Haksa cukup terkejut dengan penawaran yang di berikan oleh Lexaf. Ia pikir selama ini Lexaf bebas dari rokok, ternyata tidak.

“Lo ngerokok, Bang?”

Lexaf tertawa dengan pertanyaan spontan dari Haksa. Ia menjawab pertanyaan Haksa sambil berjalan membuka pintu dan menuju ke balkon.

“Sesekali, kalau lagi stress berat doang, sih,” jawab Lexaf santai. Lexaf masih belum mengeluarkan rokok dari bungkusnya.

“Lo sekarang lagi stress?” tanya Haksa menghampiri.

Lexaf menggeleng. Ia menunjuk Haksa yang masih berdiri dengan ekspresi terkejut.

“Gue? Apaan yang gue?”

Cigarettes when stressed,” ucap Lexaf terdengar seperti sambaran petir bagi Haksa.

Haksa masih berusaha untuk mengelak, tapi yang namanya Haksa, mana bisa berbohong jika di hadapkan dengan Oxaf dan Lexaf.

“Lo tau, ya, Bang?” tanya Haksa dengan senyum getirnya.

“Banyak yang Abang tau,” jawab Lexaf membuat bulu kuduk Haksa berdiri.

Haksa meraih bungkus rokok yang Lexaf letakkan di sisi balkon. Ia mengambil satu batang, kemudian membakarnya.

Lexaf menyaksikan bagaimana sang Adik menghembuskan asap-asap rokok, terlihat seperti sang Adik berusaha menghembuskan beban-bebannya untuk ikut bersama asap-asap rokok itu.

“Soal kuliah?” tebak Lexaf.

Haksa menatap Lexaf dengan tatapan yang sayu. Ia mengangguk pelan.

Lexaf menepuk bahu sang Adik, menghantarkan kenyamanan yang ia miliki.

“It is okay.”

Keduanya terdiam sejenak, menikmati udara dingin yang mulai masuk ke tulang mereka. “Abang boleh kasih saran?”

Haksa mengangguk cepat.

“Kalau memang rasanya ga sanggup untuk lari, jalan santai pun juga gapapa. Olah raga kan banyak macam jenisnya. Setiap cabang olah raga, punya juara masing-masing. Tapi tau, ga, yang paling penting dari tiap perlombaan itu apa?”

Haksa menggeleng, ia mematikan puntung rokoknya. Menyimak Lexaf dengan khidmat.

“Kesehatan si pelari, kesehatan si pejalan, kesehatan yang mau ikut perlombaan. Siap ya siap, tapi sehat itu harus. Kalau kita seorang pelari, saingan kita juga seorang pelari. Kalau kita pejalan, saingan kita juga seorang pejalan. Kalau pelari sama pejalan bersaingan, cara nentuin yang menang gimana, ga bisa, kan? Karena keduanya beda. Paham maksudnya Abang?”

Haksa tersenyum setelah mendegar perumpamaan dari Lexaf. Ada sedikit rasa lega yang masuk ke dalam dirinya, menenangkan sekali.

“Abang sama yang lain ga pernah keberatan kalau kamu lama selesainya. Gapapa, asal selesai,” imbuhnya.

“Kita semua ga mau ada Yafrand-Yafrand yang lainnya, memaksakan sesuatu yang bukan kapasitas mereka itu tindakan kriminal, penjahat,” lanjut Lexaf sambil merangkul erat Haksa.

“Tapi gue juga mau, kalo di tegasin kayak Yafrand, Bang,” jawab Haksa.

“Orang tua, Abang-abang itu selalu punya cara yang unik untuk ngebentuk kalian, ngebentuk kita. Yafrand caranya A, kamu caranya B, Abang caranya C, dan seterusnya.”

“Yafrand itu anak terakhir, pasti Bang Cessar, Bang Ian, Bang Inu, dan kita semua pengennya Yafrand lebih dari kita. Iya, kan?”

Haksa mengangguk lagi.

“Yang nuntut Yafrand itu ga cuma Bang Cessar aja, sebenernya kita juga nuntut, kok. Tapi kita ga sadar aja dan beruntungnya Yafrand kuat untuk itu. Makanya, sekarang Yafrand dapet hadiah seumur hidup dia untuk bebas lakuin apa aja yang dia suka. Kamu dulu juga gitu, sebelum Yafrand lahir, kamu juga di tuntut ini itu juga, kan?”

Haksa diam, meresapi apa yang di ucapkan Lexaf padanya. Benar, semua hal memang tidak bisa di sama ratakan, ia percaya itu.

“Bang, sehat selalu, ya. Gue masih butuh saran-saran lo yang ga menggurui itu. Sampe nanti, sampe gue tua,” ucap Haksa teduh sambil mengusap punggung Lexaf.

“Kamu ngomong gitu kayak Abang mau pergi jauh aja,” canda Lexaf.

“Bang, BENERAN INI!” ucap Haksa penuh penekanan hingga membuat Lexaf tertawa.

Haksa dan Lexaf tertawa mengingat pembicaraan mereka sesaat yang lalu. Tanpa mereka sadari, sejak tadi ada si bungsu yang berdiri tegap dan menguping dua Abangnya yang sedang berbincang.

“Abang, ada telfon, dua,” bisik Yafrand dari belakang yang mengejutkan Lexaf dan Haksa.

“ANJJJJJJ, LO BISA GA JANGAN KAYAK SETAN GITU!” teriak Haksa.

“Abis kalian seru banget deep talk-nya, kan jadi ga enak mau ganggu dari tadi,” alasan Yafrand. Yafrand sebenarnya ingin sekali join bersama Lexaf dan Haksa sejak tadi, tapi ia tahu kalau Haksa sangat jarang menghabiskan waktunya dengan Lexaf. Karenanya Yafrand mengalah, lagi dan lagi.

“Udah dari tadi emang berdiri disini?” tanya Lexaf.

Yafrand mengangguk, “UDAHHH,” serunya.

“Denger dong kalo lo kita gibahin?” todong Haksa.

Yafrand mengangguk sambil tersenyum lebar seperti Agnes di kartun Minion.

“Abang, ada telfon, dua,” ucap Yafrand mengulangi kalimatnya yang sebelumnya.

“Siapa?”

“Yang satu Bang Cessar, telfon pake handphone Bang Ian. Yang satu lagi, tulisannya ‘Babe’,” jelas Yafrand santai tanpa rasa penasaran.

“LOH HANDPHONE ABANG MANA?” tanya Lexaf frustasi karena tidak menemukan ponsel di atas nakas dan tempat tidur.

“Di ruang tamu.”

Dengan buru-buru, Lexaf berlari keluar kamar untuk mencari ponselnya. Sayangnya, Wisnu sudah berdiri di depan pintu kamarnya sambil membawa ponselnya dengan nampan, persis seperti pembawa baki.

Di samping Wisnu ada Tian yang sedang melakukan panggilan video dengan Cessar, lalu di belakang mereka ada Oxaf yang masih menenteng jas putih kerjanya sambil memasang ekspresi penuh tanda tanya. “Apa, lo? Mau kabur?”

“Ini, ‘Babe’ nelfon. Tiga kali, tapi ga ada yang kita angkat. Gih, angkat,” ejek Wisnu sambil menunjukkan mimik jahilnya.

“Tadi ada chat masuk juga itu dari si ‘Babe’’,” sambung Tian.

Malu bukan main, kini wajah Lexaf sudah seperti kepiting rebus. Tanpa berlama-lama lagi, Lexaf segera meraih ponselnya dan keluar dari kamarnya yang sedang di penuhi dengan saudara-saudaranya. Ia segera menghubungi ‘Babe’-nya.

“Nah, akhirnya di angkat.”

“Babe, sorry. Tadi handphone-nya di bawah.”

“It is okay, tumben kamu pulang ga bilang-bilang?”

“Mendadak, sih. Btw — ,”

“Wait, Babe, aku mau kirim jas yang kemaren aku bilang.”

“Besok aku jemput, deh.”

“No, aku titipin aja. Mumpung udah di pertigaan rumah kamu, aku titipin ya ke security kompleks?”

“No, aku tunggu di depan rumah.”

Sementara itu, kamar Lexaf masih di penuhi dengan Abang juga Adik-adiknya. Malam ini, kamarnya di jadikan basecamp.

“Kok ada rokok, sih?” tanya Oxaf saat mendapati ada sebungkus rokok di balkon kamar Lexaf, di dekat tempat Haksa berdiri.

“Rokok Bang Lexaf, ya. Bukan gue.” elak Haksa.

“Santai aja kali, laki mah biasa,” ledek Wisnu sambil membakar sebatang rokok.

Tian mengangguk, ia juga mengikuti apa gang Wisnu kerjakan.

“Ga over, ya. Awas aja.” ancam Oxaf.

“Babe-babe itu siapa, sih? Ceweknya Abang?” tanya Haksa.

“Udah lama pacarannya?” tanya Yafrand menambahkan.

“Ga tau, emang ada yang tau?” tanya Tian balik.

Semuanya menggeleng, melempar tatapan saling bertanya. Lagi pula, di antara mereka tidak ada yang pernah bercerita soal “punya kekasih”. Contohnya Cessar, tiba-tiba menikah. Tapi kali ini, dari balkon kamar Lexaf, mereka dapat melihat untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, Lexaf tersenyum seteduh itu.

Tian, Wisnu, Oxaf, Haksa, juga Yafrand menyaksikan bagaimana Lexaf memeluk seorang perempuan berambut panjang yang baru saja turun dari mobil sedan berwarna putih. Si puan juga tidak kalah teduh senyumnya.

Dari balkon kamar Lexaf, ada dua orang yang mempertanyakan pada hati masing-masing, akankah suatu hari nanti mereka akan bertemu dengan seseorang yang membawa senyum seteduh itu?

How lucky cewek itu dapetin Abang,” gumam Haksa tiba-tiba.

So, that’s doing the right thing without being told, huh?” batin Tian seraya menepuk bahu Oxaf yang ada di hadapannya. Tian, ia harus mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan yang akan terjadi besok.

Siap tidak siap, ia harus.

--

--

meyourpie
meyourpie

Written by meyourpie

restez, je suis heureux que vous restiezʚɞ˚ ༘♡ ⋆。˚