Janji yang sudah menunggu

mey
8 min readOct 16, 2023

--

Waktu menunjukkan pukul 22.10, Oxaf menerjang jalanan dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia harus segera sampai di rumah sakit. Setelah menerima panggilan dari rekannya, Malik, Oxaf segera bergegas tanpa bersiap-siap lebih dulu. Bahkan ia hanya memakai kaos dan celana training. Jalanan sudah mulai sepi, karena itu ia tidak membutuhkan waktu yang lama untuk tiba di rumah sakit. Sampai di rumah sakit, Oxaf segera menuju ke ruangannya dan mengganti pakaiannya dengan setelan jaga hari ini dan berakhir dengan Oxaf yang tidak jadi mengambil cuti untuk hari ini dan besok.

Hari bahkan sudah berganti, kesibukan semalam membuat Oxaf dan beberapa rekan dokter lainnya kewalahan. Makanan yang semalam mereka beli, baru bisa mereka nikmati saat menjelang pagi.

“Xaf, lo balik abis ini?” tanya Malik pada Oxaf saat keduanya sedang dalam perjalanan menuju ruangan masing-masing.

“Iya, kayaknya. Ada janji gue sama Lexaf.”

“Ooh, gue siang nanti mau jenguk Dila sama nyokap, kangen katanya,” ucap Malik memberitahu.

“Titip salam, ya,” pinta Oxaf.

Keduanya sedang tidak memiliki energi lebih untuk saling bercanda, karena itu Oxaf hanya menitipkan salam dan Malik hanya mengangguki. Keduanya sudah cukup lelah karena kebanjiran pasien tadi malam.

Pukul delapan pagi, Oxaf kembali ke rumahnya. Ia berulang kali membuka ponsel dan membaca pesan dari Lexaf. Saat ia membaca pesan dari Lexaf, tiba-tiba saja ia teringat dengan salah satu pasien Misel yang saat itu bertatapan dengannya cukup lama. Oxaf merasa tidak asing dengan orang itu, tapi sepanjang ingatannya itu adalah pertemuan pertama mereka.

Melupakan soal pasien Misel yang tampak tidak asing, Oxaf kembali melanjutkan membaca pesannya dengan Lexaf. Sejujurnya ia takut sekali untuk membuka alamat yang sebelumnya sudah Lexaf kirimkan. Ia berulang kali mengurungkan niatnya untuk membuka link itu.

“Alamatnya kayaknya ga jauh-jauh banget,” batin Oxaf. Ia menutup ponselnya dan beristirahat sejenak, bahkan hanya menghitung detik, Oxaf sudah tertidur.

Dua jam berlalu, Oxaf terbangun dari tidurnya karena dering ponselnya yang terus berbunyi. Sepertinya ia kembali mendapat panggilan darurat dari rumah sakit. Batinnya tidak salah kali ini. Tidak hanya Malik, lagi-lagi beberapa rekan menghubunginya untuk meminta bantuannya. Ini adalah kewajibannya, pekerjaannya adalah sebuah tanggung jawab yang besar — atas nyawa orang lain.

Beruntungnya, ini bukan panggilan darurat. Hanya saja, salah satu rekan Oxaf meminta tolong untuk di gantikan berjaga selama tiga jam terakhir ia berjaga. Karena jam pertemuan yang Oxaf dan Lexaf sepakati masih cukup lama, ia pikir tidak masalah jika Oxaf melanjutkan bekerja sampai waktunya tiba. “Ntar pulangnya bisa pas jamnya sama Lexaf,” batin Oxaf.

Tidak banyak pasien baru yang masuk hari ini, karena itu Oxaf berjaga dengan sedikit santai. Berbeda dengan semalam, Oxaf memanfaatkan waktunya dengan membaca beberapa buku dan jurnal penelitian kasus yang serupa dengan beberapa pasiennya, namun saat ia sedang membaca dan mempelajarinya tiba-tiba ia mendapatkan panggilan dari IGD yang sebentar lagi akan kedatangan pasien.

Oxaf berlari dengan kencang menuju lobi samping rumah sakit, tempat dimana mobil ambulance menurunkab pasien dalam keadaan darurat. Betapa terkejutnya Oxaf, saat melihat siapa yang akan ia tangani saat ini. Itu adalah Ibu dari Misel. Dengan kepala yang terluka, dengan daah segar yang masih mengalir, dengan baju yang penuh dengan darah, dengan keadaan yang sudah tidak sadarkan diri.

“Bi, Ibu Yura kenapa?” tanya Oxaf langsung kepada Bibi yang ikut bersama Ibu Yura.

“Ibu jatuh di kamar mandi barusan, Den,” jawab si Bibi dengan setengah menangis dan histeris.

“Sudah kabari Kak Misel?”

Bibi menggeleng, tangannya masih bergetar hebat saat ini.

Beberapa langkah lagi mereka akan tiba di IGD, Oxaf melihat Nadif dan Malik sudah berdiri di depan pintu IGD — siap membantu mereka.

“XAF, IBU YURA?!” tanya Nadif saat ia melihat pasien yang sedang dibawa masuk ke IGD.

Oxaf hanya mengangguk, “Titip Dokter Misel, dia belum tau,” ucap Oxaf sesaat sebelum perawat menutup pintu yang membatasi akses antara keluarga dan petugas kesehatan.

Misel, ternyata menjadi satu-satunya yang tidak merespon panggilan dari siapapun. Puluhan pesan dan panggilan dari Oxaf dan Cessar sudah memenuhi notifikasi ponselnya. Tidak hanya dari dua itu, panggilan-panggilan dan pesan-pesan lainnya juga berasal dari Bibi yang tinggal dengan Ibunya, serta adik-adik iparnya. Saat ini, ia sedang melakukan tindakan pada salah satu pasien yang juga baru saja datang. Pasien kritis yang butuh segera ditindak. Entah kebetulan seperti apa yang membuatnya harus menerima kabar tidak baik ini, saat ia sedang tidak memegang ponselnya.

Sejak ia mengetahui bahwa pasien yang akan ia tangani adalah mertua dari abangnya, Oxaf segera memberitahu semua anggota keluarganya tanpa terkecuali.

“Xaf, cari Misel. Tahan, jangan sampai kenapa-kenapa. Abang minta tolong, ya,” suara sambungan telepon dari Cessar kepada Oxaf. Suaranya terdengar sangat panik. Bagaimana tidak, saat ini ia sedang melakukan penerbangan dari Jakarta-Makassar dan baru kembali esok pagi. Sudah dapat di pastikan bahwa ia tidak bisa mendampingi istrinya saat ini. Lagi-lagi, takdir baik sedang tidak berpihak kepada mereka.

Nadif terdiam dengan tubuh yang gemetar. Ia panik. Satu-satunya yang terlintas di kepalanya adalah menemukan keberadaan Misel. Ia harus menjaga Misel dengan baik, apalagi Misel sedang hamil besar saat ini.

Dengan langkah kaki yang cukup besar, Nadif berlari dengan cepat mencari keberadaan Misel. Ia juga bertanya kepada beberapa perawat dimana posisi Misel saat ini.

“Sel, Ibu — , ayo ke IGD.”

“Ibu? Ibu siapa? Kenapa?” tanya Misel sambil memegangi bahu Nadif yang masih mencoba mengatur napasnya.

“Lo ga bawa hp?” tanya Nadif.

DEG. Perasaan Misel seketika langsung berubah menjadi tidak tenang. Memang sebelumnya ia sudah merasa gelisah, tapi ia tidak akan menduga bahwa itu akan menjadi sebuah firasat.

“Ibu Yura, masuk IGD,” ucap Nadif sambil memegang tangan Misel.

Misel spontan kehilangan keseimbangan tubuhnya. Kakinya terasa lemas seakan tidak kuat lagi menahan tubuhnya. Perutnya terasa nyeri yang amat dalam. Tidak bisa ia gambarkan bagaimana perasaan dan keadaannya saat ini. Tapi yang jelas, Nadif bisa mengerti tanpa harus diberi tahu lebih lanjut.

“Sel, gue peggangin, ayo,” tawar Nadif sambil memegang bahu Misel. Ia menenangkan Misel dengan segala cara yang bisa ia lakukan. Misel diam tanpa menjawab sepatah kata, langkahnya terburu-buru menuju ke ruangan yang menakutkan itu.

“Nadif, gue mau ke IGD. Gue butuh ponsel buat hubungin Ma Cessar” ucap Misel pelan dan ia terduduk di kursi tunggu yang ada di lorong. Kakinya sudah tidak mampu lagi melanjutkan jalannya. Ia sudah lemas, sudah kehabisan tenaga.

Saat Nadif sedang berlari ke ruangan Misel untuk mengambil ponsel Misel, Nadif bertemu dengan Wisnu dan saudara-saudaranya. Tahu bahwa Wisnu datang untuk menjenguk Ibu Misel, Nadif kemudian mengajak mereka untuk pergi ke IGD bersama-sama.

Rupanya, Misel sudah berjalan menuju IGD tanpa menunggu Nadif. Ia melanjutkan dengan berjalan lambat, dengan tangan kanan yang meraba dinding agar ia bisa tetap kuat berjalan dan menahan sengaja nyeri yang sudah menusuk-nusuk seluruh tubuhnya, khususnya bagian perutnya.

“Sel, you okay?” tanya Tiandra sambil menahan bahu Misel agar ia tidak terjatuh.

Misel tidak menjawab. Ia hanya berusaha menjawab dengan tatapan hangat yang ia punya. Tian mengerti, “Cessar masih ada penerbangan, besok pagi baru sampai sini. Sementara gue sama yang lain yang nemenin lo disini, ya,” ucap Tian sambil memapah Misel.

Misel hanya mengangguk. Dalam hatinya bertanya, beginikah rasanya membutuhkan kehadiran orang yang kita cintai, namun ia tidak bisa ada di sini. Mendadak jadi mengingatkannya dengan kejadian belasan tahun yang lalu, dimana dirinya dan sang Ibu sedang berada di titik terendah dalam hidup mereka, namun sang Ayah tidak ada di samping mereka bahkan untuk sekadar menemani.

Misel ditemani oleh Bibi, Tian, Wisnu, Yafrand, dan Nadif saat ini. Mereka duduk didepan IGD sambil menatap pintu kaca dan bertanya-tanya kapan pintu itu akan terbuka. Mereka juga tidak sabar untuk mendengarkan kabar baik yang sedari tadi mereka harapkan. Dengan mata yang sudah sembab karena tidak bisa berhenti menangis, Misel membaca pesan yang Bibi kirimkan padanya.

Matanya tidak mampu menahan air matanya saat ia membaca,

“Non, Ibu jatuh.”

“Non tolong angkat telfonnya.”

“Saya langsung bawa ke rumah sakit ya, Non,”

Begitu isi pesannya. Misel merasa gagal menjadi seorang anak, bagaimana ia begitu lalai dengan keadaan ibunya. Bagaimana ia tidak pernah menanyakan bagaimana kesehatan ibunya akhir-akhir ini. Misel banyak menyalahkan dirinya kali ini. Misel paham betul, bahwa di situasi seperti ini, rasanya dunianya benar-benar runtuh. Ia tidak punya siapa-siapa yang menyayanginya sebesar ibunya.

Di sisi kanan Misel, ada Nadif yang tanpa henti mengelus tangan Misel dengan lembut. Melihat Nadif menguatkan Misel, membuat Wisnu sadar. Seberapa banyak orang yang ada disisi kita, kita sebenarnya hanya butuh satu pelukan dari orang yang kita sayangi sebagai penguat.

“Mas Cessar ga bisa ada di sini, Dif,” ucap Misel pelan sekali, bahkan Tian yang ada di sebelahnya tidak mendengarkannya.

“Iya, sementara sama gue sama yang lain dulu, ya?” jawab Nadif lagi.

Misel sudah melepas jas putih yang semula ia kenakan, pun dengan Nadif. Misel sudah tampak lusuh, dengan tangan yang tidak berpaling dari perutnya. Ia terus memegang perutnya yang terasa nyeri sejak beberapa saat yang lalu. Sesekali, Nadif juga membantu Misel merapikan rambutnya. Menghapus air mata yang masih menetes sejak tadi.

Sudah hampir empat puluh menit berlalu dan Misel masih terus memandangi pintu IGD yang bahkan sampai saat ini belum memberi tanda bahwa ia akan terbuka. Di dalam sana, dunianya sedang berjuang dan bertahan untuk terus ada di dunia ini.

“Mau minum, ga, Sel? Udah pucet banget soalnya,” tanya Wisnu menawarkan.

Misel menggeleng. Ia menolak tanpa melihat Wisnu.

“Beliin aja,” kode Nadif kepada Wisnu. Kemudian Yafrand beranjak dari tempat duduk dan bergegas membeli minuman untuk Misel. “Adek sendiri aja gapapa, Bang.”

Hari ini, terik membakar nyali semua anggota keluarga Rajasa, tanpa terkecuali. Bak petir di siang bolong, nyatanya itu lebih menyeramkan untuk di rasakan ketimbang sekadar kalimat kiasan yang menakutkan. Berita tidak baik kembali mendarat pada obrolan keluarga Rajasa. Rasanya, mereka terus di bom dengan hal-hal tidak baik, belakangan ini.

Kali ini, Oxaf kembali datang membawa kabar tidak baik itu. Rasanya seperti dejavu — mengingatkan dirinya pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat ia membawa kabar kepada saudara-saudaranya tentang keberadaan Yafrand di rumah sakit dengan pakaian penuh darah — tapi itu bukan miliknya. Beruntungnya, si bungsu tidak terluka sedikitpun, ia hanya berusaha menolong seseorang yang kala itu memang sedang butuh bantuannya. Rasanya ia benar-benar di tarik dan kembali ke masa itu. Ia takut, kalau berita yang ia bawa kali ini, akan berakhir sama dengan cerita Yafrand kala itu.

“Khalis, Ibu mungkin terlalu banyak kurangnya. Ibu mungkin sering menyakiti kamu tanpa Ibu sadari. Tapi Khalis, Ibu mohon doakan Ibu dengan hebat kali ini saja. Ibu hanya ingin menebus doa Ibu kepada dunianya Ibu,” — dalam ruangan yang penuh dengan cahaya, dalam mata yang tertutup rapat dan tubuh yang kaku. Ada hati yang berbicara demikian, berharap doa itu terus mengalir dengan deras — kali ini saja.

Kurang dari satu jam, akhirnya pintu kaca itu terbuka. Dokter Malik, Dokter Oxaf, dan beberapa rekan lainnya sudah berhasil menangani Ibu Misel. Ada beberapa hal yang Dokter Malik sampaikan kepada Misel terkait kondisi ibunya. Saat ini mereka sudah mengusahakan yang terbaik dan mereka perlu menunggu beberapa waktu untuk melihat perkembangan Ibu Misel setelah ini, barulah setelahnya mereka bisa melakukan pemeriksaan lebih lanjut. “Setelah ini pasien akan diarahkan untuk dipindahkan di ruang rawat inap setelah koordinasi dengan perawat ruangan,” ucap Malik kepada Misel. Berat bagi Malik untuk berbicara seperti ktu kepada Misel, apalagi melihat keadaan Misel saat ini yang begitu berantakan.

Satu anak tangga yang tampak begitu curam sudah berhasil di lalui.

Lalu di tempat yang lain, suara ledakan terdengar beberapa kali. Riuh pun sudah mulai memecahkan fokus masing-masing. Di tempat yang menakutkan ini, seseorang dengan janji yang sudah ia buat, dengan segala tanggung jawab yang harus di laksanakan — ia jatuh terkapar. Dengan luka tembak di bahu dan dada bagian ki, tanpa satu orang pun yang menyadari bahwa ia sedang butuh pertolongan. Terjebak dalam kerusuhan membuat Lexaf dan beberapa rekannya tidak dapat menghindar dari sasaran anak peluru yang datang dari berbagai arah.

Siang ini, untuk memenuhi misinya — Lexaf Adnan, menjadi salah satu dari lima korban salah tembak saat sedang menjalankan tugas dan misinya.

--

--

mey
mey

Written by mey

restez, je suis heureux que vous restiezʚɞ˚ ༘♡ ⋆。˚

No responses yet